Sabtu, 04 Februari 2012

NYANYIAN RINTIK HUJAN [Part 1]

-Ratna punya cerita bagus nih, mohon dibaca.. :D-




"Rani-san.."
"Apa?"
"Ano.."


Aku mengangkat kepala dan menatap heran sosok dihadapanku. tidak biasanya dia kelihatan ragu-ragu begini. Biasanya dia selalu terus terang dan berkata tanpa ragu. Tapi kini...


"Doshite? Tanyaku akhirnya. "Ada apa?"
"Iie.." Ucapnya sambil menggelengkan kepala pelan-pelan. "Tidak ada apa-apa. Lupakan saja..."


Aku bertambah heran mendengar jawabannya. Jelas-jelas dia tadi ingin mengatakan sesuatu, kenapa sekarang malah berkata tidakada apa-apa? Sesaat aku masih menatapnya heran, mengangkat bahu, lalu kembali asyik dengan bacaanku. Tapi, baru semenit aku menekuni buku, ia kembali memanggil.


"Ano.. Rani-san.."
"Ya, ada apa? tanyaku, kali ini tanpa mengangkat pandangan dari halaman-halaman bukuku. "Kalau ada yang ingin ditanyakan, tanyakan saja! Tidak usah ragu-ragu."
Untuk sesaat ia terdiam. Namun, kemudian, tiba-tiba ia menanyakan sesuatu yang tidak pernah kuduga sebelumnya!


"Rani-san.. Maukah Rani-san menikah dengan saya?"
APA?








Aku bertemu Kazuya sekitar satu tahun yang lalu. Saat itu musim semi dan hujan sering turun tanpa permisi, sama seperti sekarang. Oleh Eimi-neesan, aku sudah diperingatkan untuk selalu membawa payung kemana pun aku pergi.
"Bahaya kalau sampai kehujanan, Rani!" ucap Eimi-neesan waktu itu. "Bisa-bisa kamu kena radang paru-paru dan harus bolos kuliah!"


Mendengar ucapan Eimi-neesan, aku langsung tersenyum kecut. Bolos kuliah? Celaka dua belas kalau aku sampai sakit dan bolos kuliah! Sekarang saja aku harus berusaha setengah mati mengejar mata kuliah Takahara-sensei, apalagi kalau sampai bolos! Bisa-bisa dicabut deh beasiswaku.


Akhirnya demi kesehatan dan juga demi kelangsungan hidup beasiswaku, aku mengikuti nasihat Eimi-neesan; membawa payung kemanapun aku pergi. Benar saja! suatu hari, saat aku hendak pulang dari toshokan, langit yang semula cerah tiba-tiba berubah gelap dan tanpa basa-basi sang guntur pun berteriak dan menyerbu bumi. Orang-orang di sekitarku langsung mengeluh kesal.


Sesaat, aku termenung melihat pemandangan di depanku. Sudah lama sekali aku tidak menikmati hujan, kegiatan yang sangat sering kulakukan ketika masih kecil dulu. Bagi Rani kecil, air hujan bukan sembarang air, melainkan permata-permata cair yang diturunkan surga untuk menghiasi dunia manusia. Kemudian, suara-suara yang terdengar saat rintik air menghantam bumi adalah melodi lembut yang dinyanyikan oleh para bidadari. Karena itulah aku dulu sangat betah menatap hujan, mulai dari tetes pertama hingga terakhirnya. Konyol, tapi sangat menyenangkan. Dan, sudah lama aku tidak melakukannya.


aku berdiri di depan jendela dan mengulangi lagi kenangan indah kilau ratusan 'permata' yang tercurahkan dari langit dan lembutnya melodi yang dinyanyikan oleh rintik hujan, aku lalu menuju rak penyimpanan payung yang terletak di sebelah pintu masuk toshokan.


Lho?
Aku semakin tertegun saat laki-laki itu dengan tenang membawa payungku ke pintu toshokan , membukanya dan bersiap memakainya. Saat itu juga bayangan aku berjalan pulang di bawah siraman air hujan, kena radang paru-paru, lalu bolos dan dimarahi Takahara-sensei pun melintas cepat di benakku. Apa yang harus kukatakan pada orang tuaku kalau tiba-tiba aku harus pulang ke Indonesia gara-gara beasiswaku dicabut? Bagaimana kau harus mengatasi rasa malu itu? Rasa cemas tiba-tiba menggunung dalam hatiku, dan tanpa pikir panjang lagi, aku langsung berlari dan berteriak keras,
"MALING! MALING PAYUUUUNGG!"
Sedetik setelah mengeluarkan 'lengkingan mautku' barulah aku tersadar kalau tiba-tiba suasana toshokan  menjadi hening. Dari sudut mataku, kulihat semua orang menatapku heran. Ya Allah... malunya!! Seandainya saja bisa, aku ingin sekali menghilang dari tempat ini! Bayangkan saja, gara-gara sebuah payung, aku sampai berteriak sekeras itu sampai seluruh pengunjung toshokan  menoleh dan menatapku. masih untung aku tadi berteriak dalam bahasa Indonesia, coba kalau dalam bahasa Jepang? Bisa-bisa habis aku ditertawakan! Masya Allah...


"Sumimasen.." tiba-tiba sebuah suara menyapaku sopan. "Apakah Anda tadi memanggil saya?"
Aku mengeluh dalam hati. Kenapa juga ada orang menyapaku di saat aku merasa malu seperti ini? Dan, perasaan aku tidak memanggil siapapun. Tapi, sangatlah tidak sopan jika aku tidak menjawab pertanyaan orang itu. Meski enggan kuangkat juga kepalaku dan kutatap orang yang menyapaku tadi. Dan tiba-tiba aku bagaikan tersengat listrik jutaan volt.


Si pencuri payung!
"Anda tadi memanggil saya?" laki-laki itu kembali mengulang pertanyaannya. Tangan kirinya menggenggam payung mungilku, sementara matanya menatapku tanpa dosa.
"Ee.." gumamku pelan. "Ano.."
Apa yang harus kukatakan padanya ya? Apakah aku harus bilang kalau anda tertangkap basah telah mencuri payung saya. Dan, barang buktinya masih di tangan Anda?
"Sumimasen.." Aku menelan ludah. "Desu ga.  Anda membawa payung saya.."
"E?" Laki-laki itu tampak terkejut mendengar ucapanku. "Hontou desu ka?" gumamnya tak percaya sambil menatap payung di tangannya dengan cermat. "Tapi, ini payung saya..." ucapannya terputus.
Rupanya ia melihat inisial namaku terukir di gagang payung itu,. Wajahnya langsung memerah dan tampak amat malu saat mengulurkan payung kepadaku.


"Gomen nasai!!" ucapnya kikuk. "Saya benar-benar tidak sadar kalau payung ini milik Anda. Soalnya, seingat saya, tadi saya membawa payung. Payung ini sama persis dengan payung milik saya. Jadi saya..."
"Daijoubu," potongku cepat. Orang Jepang sangat peka soal sopan santun. Sekali merasa berbuat salah, mereka akan terus minta maaf tanpa henti. Jadi kalau tidak kuhentikan, dia akan terus membungkukkan badan dan meminta maaf. Kasihan kan? "Sungguh."
"Desu ga.."
"Sungguh!" ulangku sambil menganggukan kepala. "Tidak apa-apa!"
Laki-laki itu masih menatapku ragu. "Kalau begitu.. maukah Anda saya traktir minum kopi di restoran?"


Tanpa bisa kucegah, sepasang mataku langsung melotot galak. "Sebagai permintaan maaf saya..." tambahnya cepat-cepat.
"Oh.." Aku langsung memaksakan diriku untuk tersenyum. Meskipun tahu kebiasaan orang Jepang yang akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahan mereka, tawaran minum kopi tadi benar0benar membuatku shock! "Arigatou gozaimashita.  Saya tidak bisa, saya harus segera pulang. Arigatou gozaimashita."


Laki-laki itu kembali hendak membuka mulutnya, tapi buru-buru aku mengangguk kecil dan langsung keluar dari gedung toshokan itu. Masa bodoh dengan sopan santun! Bahaya kalau dia sampai memaksaku minum kopi bersama!


To be continued..

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Template by:
Free Blog Templates