Lanjutan cerita... Silahkeun dibaca.
Semenjak hari itu, aku sering bertemu dengan Kazuya. Setiap ke toshokan aku pasti bertemu dengannya. Kami
juga beberapa kali bertemu di daigaku.
Kazuya orangnya lucu dan menyenangkan. Seperti orang Jepang pada umumnya, dia
selalu sopan dan penuh tata krama. Tapi kalau rasa ingin tahunya sudah terusik,
ia langsung melupakan semua tata krama itu dan mencecarku dengan berbagai
pertanyaan. Pernah ia menanyakan mengapa aku memakai jilbab dan pakaian yang
menurutnya unik, suatu eufimisme dari
kampungan dan aneh.
Karena sering bertemu, kami menjadi akrab dan saling memanggil dengan
memakai nama kecil. Tapi tidak pernah terlintas sekali pun dalam benakku kalau
dia akan bertanya seperti ini. Menikah!
“A..” lidahku tiba-tiba kelu. “Apa?”
Kazuya menundukkan kepalanya.
“Gomen,” ucapnya pelan. ‘”Maaf
jika Rani-san menganggap pertanyaan tadi kurang ajar. Tapi, saya serius.” Ia
mengangkat kepalanya dan menatapku sekilas sebelum menundukkan kepalanya. “Apakah
Rani-san bersedia menikah dengan
saya?”
Aku semakin terdiam. Jujur saja, saat mendengar pertanyaan tadi, aku
sempat berharap kesalahan terjadi pada telingaku. Jadi, sebenarnya dia tidak
mengatakan ‘menikah’ hanya telingaku saja yang terlalu berprasangka baik
sehingga salah mendengar ucapannya.
Tapi kini, setelah ia mengulangi lagi ucapannya dan aku tetap mendengar
kata yang sama, ‘menikah’, dan aku terdiam. Di satu sisi aku bersyukur
telingaku masih normal, di sisi lain aku benar-benar tidak tahu harus berkata
apa! Seumur-umur, belum pernah sekali pun aku ditodong pertanyaan semacam ini.
“Kenapa?” Akhirnya kata itu pun meluncur keluar dari bibirku. “Kenapa
saya?”
“Karena…” sesaat Kazuya terlihat ragu. Tetapi keraguan itu tiba-tiba
sirna saat ia berkata, “Saya ingin menikah dengan Rani-san karena ingin mempelajari Islam lebih mendalam, dan menurut saya
Rani-san adalah guru yang baik untuk
saya.”
Aku semakin ternganga mendengar ucapannya.
Kazuya ingin menikah denganku karena ingin belajar Islam. Dan,
menurutnya aku adalah guru yang bisa mengajarinya Islam?
“Saya sudah pergi ke Islamic Center dan belajar di sana. Saya juga sudah
berdiskusi dengan beberapa teman mengenai Islam. Tapi saya merasa kalau Rani-san..”
“Gomen, Kazuya-san.” Aku langsung memotong ucapannya. “Gomen, saya harus pulang sekarang. Konnichiwa..” tanpa memedulikan tatapan
matanya, aku langsung bangkit dan melesat keluar dari toshokan secepat mungkin.
Untuk kali ini, suara rintik hujan bukan lagi sebuah nyanyian indah para
bidadari di telingaku, melainkan langkah kaki raksasa yang berlari mengejar dan
hendak menangkapku!
“Oneesan..”
Tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung menyerbu masuk ke apartemen Eimi-neesan. Begitu sampai di dalam, aku
langsung mengempaskan tubuhku ke sofa dan menatapnya panik. Eimi-neesan yang
keheranan melihat sikapku hanya terlogo di dekat pintu.
“Doshite?” tanyanya akhirnya. “Ada
apa Rani? Wajahmu sangat pucat. Sakit, ya?”
Aku hanya menggeleng pelan.
“Takahara-sensei memberimu
tugas sulit lagi?” tanya Eimi-neesan.
“Sabar ya, Sensei orangnya memang
sulit. Tapi ilmu yang kau dapat benar-benar melimpah. Jadi sabar sa..”
“Kazuya melamarku..”
“..ja” Eimi-neesan langsung
terdiam mendengar ucapanku. Detik berikutnya sepasang matanya membulat lebar. “Apa?”
“Kazuya-san melamarku.” Berbagai
perasaan yang sejak tadi kupendam rapat kini mulai muncul dan meluap dalam
waktu yang bersamaan. “Dia melamarku tadi pagi! Katanya dupaya bisa belajar
Islam dengan lebih baik. Terus dia.. dia..”
Selama satu jam aku menceritakan kejadian tadi pagi pada Eimi-neesan. Sebenarnya kejadiannya tidak
sepanjang itu. Tapi karena pikiranku sedang kacau, struktur kalimatku pun tidak
karuan sehingga perlu satu jam untuk menjelaskan kejadian sesingkat itu. Untung
Mas Bayu tidak ada di rumah. Coba kalau kakak sulungku itu ada..
“Oh begitu?” gumam Eimi-neesan
setelah mendengar ceritaku. “Jadi, dia melamarmu, ya?”
“Oneesan kok tenang begitu,
sih?” geramku kesal. “Sekarang aku sedang bingung, tapi kenapa Oneesan Cuma mengangguk-angguk begitu?! Beri
solusi dong!”
“Oke.. kalau begitu, mari kita ulangi satu per satu fakta masalah ini.” Kata
Eimi-neesan sambil duduk di
sebelahku. “Kau bilang kalau Kazuya melamarmu?”
Aku mengangguk.
“Lalu, apa alasannya melamarmu?”
“karena ingin belajar lebih tentang Islam.”
“Tapi, masa hanya itu?” tanya Eimi-neesan.
“Kalau memang ingin belajar Islam, ia bisa pergi ke Islamic Center dan belajar
di sana, tidak perlu sampai melamarmu.” Ia menatapku lama dan tiba-tiba matanya
berkilat usil. “Jangan-jangan kau pernah mengajaknya kencan ya?”
“Oneesan!” Aku langsung
melemparkan sebuah bantal ke arahnya. Bisa-bisanya dia bercanda terus, padahal
aku sedang bingung setengah mati menghadapi maslah ini. “Kami tidak pernah
kencan! Biasanya kami bertemu di toshokan, saling sapa, lalu sudah! Itu saja!”
“Yang benar?”
“Iya!” Aku menggerutu pelan sebelum menambahkan, “Sering juga sih, kami
berdua berdiskusi atau mengobrol tentang berbagai hal. Tapi tidak pernah sekali
pun kami keluar dari toshokan.” Sambarku
cepat saat melihat Eimi-neesan hendak
membuka mulutnya lagi.
Eimi-neesan kembali tertawa. Namun, saat melihat wajahku yang sudah
tidak ‘berbentuk’ lagi, akhirnya ia pun merasa kasihan.
“Tadi kau bilang kalai dia ingin menikah denganmu karena ingin
mempelajari Islam?”
Kata Eimi-neesan serius. “Apa itu benar? Apa selama ini ia memang
berminat pada Islam?”
Aku terdian mendengar pertanyaan Eimi-neesan. Apa benar ya? Apa benar
Kazuya tertarik pada Islam? Selama ini dia memang sering bertanya-tanya tentang
Islam kepadaku, terlebih setelah aku menjelaskan bahwa jilbab dan pakaianku ini
merupakan kewajiban dalam Islam, bukan sekedar mengikuti mode atau biar
dianggap unik. Ia juga sering
mengajakku berdiskusi tentang agama, membandingkan Islam dengan Kristen, Shinto
atau Konfusianisme yang banyak dianut oleh masyarakat Jepang. Tapi.., itu semua
tidak pernah kutanggapi dengan serius. Tidak pernah sekali pun terlintas dalam
benakku kalau ia sungguh-sungguh tertarik pada Islam.
Aku mengerutkan kening. Tiba-tiba, ingatanku mundur tiga bulan ke
belakang. Saat itu, aku sedang iseng main ke Islamic Center. Kata Mas Bayu
memalukan jika sudah tinggal di Tokyo selama hampir setengah tahun, tapi belum
pernah sekali pun mengunjungi Islamic Center. Akhirnya, daripada terus-terusan
diejek oleh kakakku itu, aku pergi ke sana. Saat itu, aku melihat sosok yang
mirip Kazuya di sana. Sayang, sebelum aku sempat memastikan apakah sosok itu
Kazuya atau bukan, ia sudah pergi. Waktu itu aku beranggapan kalau sosok itu
bukan Kazuya. Mana mungkin Kazuya pergi ke Islamic Center?
Sekarang aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri, jangan-jangan itu
memang Kazuya yang kulihat di Islamic Center.. Jangan-jangan sebenarnya selama
ini Kazuya memang tertarik pada Islam. Jangan-jangan dia…
“Bagaimana?” tanya Eimi-neesan. “Aapa kau yakin kalau dia memang
tertarik pada Islam?”
Aku hanya menatapnya. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa.
Eimi-neesan balik menatapku.
“Ran,” panggilnya lembut. “Kalau aku boleh memberi saran, menurutku,
sebaiknya kau terima saja lamaran Kazuya. Kau sudah cukup secara mental. Kau juga
cukup mengenal Islam sehingga bisa membantunya menemukan hidayah Allah. Anggap saja
ini dakwah, sarana untuk menebar hidayah!”
Aku kembali menarik napas panjang.
“Kau tahu sendiri kan, Ran,” tambah Eimi-neesan, “sejak lahir aku
tinggal di negeri ini. Salama bertahun-tahun aku hidup dalam kegelapan,
meninggalkan yang benar dan melakukan yang salah. Baru lima tahun yang lalu aku
berhasil menemukan bibit hidayah yang itu pun dengan susah payah.” Eimi-neesan
mengelus kepalaku pelan. “Sekarang, ada seorang yang di dalam hatinya sedang
berkembang bibit hidayah. Kalau kau mau, kau bisa merawat bibit itu hingga bisa
tumbuh menjadi sebatang pohon yang kuat, yang tidak hanya menaungi hati
pemiliknya, tapi juga hati orang-orang yang ada disekitarnya. Bagaimana?”
Aku masih terdiam. Aku tahu apa yang diucapkan itu benar. Perjuangan kakak
iparku menjadi seorang muslim benar-benar berat; sarat darah dan air mata. Untung
saat itu ada Mas Bayu di sisinya.
Dan, saat itu, kondisi Kazuya hampir sama seperti Eimi-neesan. Kalau aku
mai, aku bisa membantu merawat bibit hidayah yang telah tertanam di hatinya. Tapi,
benarkah aku bisa membantunya? Ada begitu banyak hal silih berganti muncul
dibenakku, mulai dari bayangan wajah Mas Indra saat membaca emailku tentang
lamaran Kazuya, wajah Bapak sampai Ibu saat mendengar berita itu dari Mas
Indra, sampai keraguan pada diriku sendiri. Benarkah aku sudah memahami Islam
secara kaffah sehingga bisa membantu Kazuya? Atau malah aku akan menjerumuskan
karena ketidaktahuanku?
Aku menarik napas panjang. Yah, aku butuh waktu untuk memikirkan jawaban
untuk,u, Kazuya. Gomen, ne..
©©©
Rintik hujan turun membasahi bumi, membawa kesejukan di tengah malam
yang senyap ini. Setelah sekian lama hilang, malam ini kutemukan kembali melodi
para bidadari di tengahnya. Begitu teratur, begitu harmonis, dan begitu indah,
cerminan kecil dari kebesaran Sang Pencipta yang tak terhingga. Bermalam-malam
kuhabiskan waktu dalam sujud, berharap kemurahan-Nya agar memberika petunjuk
bagi hamba-Nya yang lemah dan sederhana, yang bisa diputuskan haya oleh
perhitungan manusia belaka. Pernikahan bagiku adalah penyatuan dua potensi yang
berbeda sehingga menimbulkan potensi lain yang lebih besar. Hal-hal yang semula
tidak mungkin dikerjakan sendiri, kini menjadi mungkin karena dikerjakan
bersama. Pernikahan bukanlah belenggu melainkan suatu bentuk pembebasan yang
bertanggung jawab.
Rintik hujan masih terus kudengar, semakin lama semakin reda sebelum
akhirnya hilang, meninggalkanku dalam keheningan absolut. Semakin lama aku
semakin tpekur sampai akhirnya kutemukan denting melodi lain di dalam
keheningan ini. Saat winamp di
komputerku menyerukan azan subuh, aku kembali bersujud. Dalam.
Besok pagi aku akan menelepon Kazuya untuk memberikan jawaban atas
pertanyaannya..
Daftar Istilah
-san : digunakan di belakang nama orang untuk menghormatinya.
Ano : ucapan yang sering dikeluarkan orang Jepang saat ragu-ragu.
Doshite : ada apa
Iie : tidak
Oneesan/neesan : kakak perempuan
Sensei : guru; dosen
Toshokan : perpustakaan
Sumimasen : permisi; maaf mengganggu
Desu ga : tapi
Hontou desu ka : benar begitu?
Gomen nasai : maaf
Daijoubu : tidak apa-apa
Arigatou gozaimashita : terimakasih
Douzou yoroshiku : senang berkenalan dengan anda
Tokyo Daigaku : Universitas Tokyo
Konnichiwa : Selamat siang
0 komentar:
Posting Komentar