Rabu, 08 Februari 2012

NYANYIAN RINTIK HUJAN [Part 3]


Lanjutan cerita... Silahkeun dibaca.


Semenjak hari itu, aku sering bertemu dengan Kazuya. Setiap ke toshokan aku pasti bertemu dengannya. Kami juga beberapa kali bertemu di daigaku. Kazuya orangnya lucu dan menyenangkan. Seperti orang Jepang pada umumnya, dia selalu sopan dan penuh tata krama. Tapi kalau rasa ingin tahunya sudah terusik, ia langsung melupakan semua tata krama itu dan mencecarku dengan berbagai pertanyaan. Pernah ia menanyakan mengapa aku memakai jilbab dan pakaian yang menurutnya unik, suatu eufimisme dari kampungan dan aneh.
Karena sering bertemu, kami menjadi akrab dan saling memanggil dengan memakai nama kecil. Tapi tidak pernah terlintas sekali pun dalam benakku kalau dia akan bertanya seperti ini. Menikah!
“A..” lidahku tiba-tiba kelu. “Apa?”
Kazuya menundukkan kepalanya.
Gomen,” ucapnya pelan. ‘”Maaf jika Rani-san menganggap pertanyaan tadi kurang ajar. Tapi, saya serius.” Ia mengangkat kepalanya dan menatapku sekilas sebelum menundukkan kepalanya. “Apakah Rani-san bersedia menikah dengan saya?”
Aku semakin terdiam. Jujur saja, saat mendengar pertanyaan tadi, aku sempat berharap kesalahan terjadi pada telingaku. Jadi, sebenarnya dia tidak mengatakan ‘menikah’ hanya telingaku saja yang terlalu berprasangka baik sehingga salah mendengar ucapannya.
Tapi kini, setelah ia mengulangi lagi ucapannya dan aku tetap mendengar kata yang sama, ‘menikah’, dan aku terdiam. Di satu sisi aku bersyukur telingaku masih normal, di sisi lain aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa! Seumur-umur, belum pernah sekali pun aku ditodong pertanyaan semacam ini.
“Kenapa?” Akhirnya kata itu pun meluncur keluar dari bibirku. “Kenapa saya?”
“Karena…” sesaat Kazuya terlihat ragu. Tetapi keraguan itu tiba-tiba sirna saat ia berkata, “Saya ingin menikah dengan Rani-san karena ingin mempelajari Islam lebih mendalam, dan menurut saya Rani-san adalah guru yang baik untuk saya.”
Aku semakin ternganga mendengar ucapannya.
Kazuya ingin menikah denganku karena ingin belajar Islam. Dan, menurutnya aku adalah guru yang bisa mengajarinya Islam?
“Saya sudah pergi ke Islamic Center dan belajar di sana. Saya juga sudah berdiskusi dengan beberapa teman mengenai Islam. Tapi saya merasa kalau Rani-san..”
Gomen, Kazuya-san.” Aku langsung memotong ucapannya. “Gomen, saya harus pulang sekarang. Konnichiwa..” tanpa memedulikan tatapan matanya, aku langsung bangkit dan melesat keluar dari toshokan secepat mungkin.
Untuk kali ini, suara rintik hujan bukan lagi sebuah nyanyian indah para bidadari di telingaku, melainkan langkah kaki raksasa yang berlari mengejar dan hendak menangkapku!



Oneesan..
Tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung menyerbu masuk ke apartemen Eimi-neesan. Begitu sampai di dalam, aku langsung mengempaskan tubuhku ke sofa dan menatapnya panik. Eimi-neesan yang keheranan melihat sikapku hanya terlogo di dekat pintu.
Doshite?” tanyanya akhirnya. “Ada apa Rani? Wajahmu sangat pucat. Sakit, ya?”
Aku hanya menggeleng pelan.
“Takahara-sensei memberimu tugas sulit lagi?” tanya Eimi-neesan. “Sabar ya, Sensei orangnya memang sulit. Tapi ilmu yang kau dapat benar-benar melimpah. Jadi sabar sa..”
“Kazuya melamarku..”
“..ja” Eimi-neesan langsung terdiam mendengar ucapanku. Detik berikutnya sepasang matanya membulat lebar. “Apa?”
“Kazuya-san melamarku.” Berbagai perasaan yang sejak tadi kupendam rapat kini mulai muncul dan meluap dalam waktu yang bersamaan. “Dia melamarku tadi pagi! Katanya dupaya bisa belajar Islam dengan lebih baik. Terus dia.. dia..”
Selama satu jam aku menceritakan kejadian tadi pagi pada Eimi-neesan. Sebenarnya kejadiannya tidak sepanjang itu. Tapi karena pikiranku sedang kacau, struktur kalimatku pun tidak karuan sehingga perlu satu jam untuk menjelaskan kejadian sesingkat itu. Untung Mas Bayu tidak ada di rumah. Coba kalau kakak sulungku itu ada..
“Oh begitu?” gumam Eimi-neesan setelah mendengar ceritaku. “Jadi, dia melamarmu, ya?”
Oneesan kok tenang begitu, sih?” geramku kesal. “Sekarang aku sedang bingung, tapi kenapa Oneesan Cuma mengangguk-angguk begitu?! Beri solusi dong!”
“Oke.. kalau begitu, mari kita ulangi satu per satu fakta masalah ini.” Kata Eimi-neesan sambil duduk di sebelahku. “Kau bilang kalau Kazuya melamarmu?”
Aku mengangguk.
“Lalu, apa alasannya melamarmu?”
“karena ingin belajar lebih tentang Islam.”
“Tapi, masa hanya itu?” tanya Eimi-neesan. “Kalau memang ingin belajar Islam, ia bisa pergi ke Islamic Center dan belajar di sana, tidak perlu sampai melamarmu.” Ia menatapku lama dan tiba-tiba matanya berkilat usil. “Jangan-jangan kau pernah mengajaknya kencan ya?”
Oneesan!” Aku langsung melemparkan sebuah bantal ke arahnya. Bisa-bisanya dia bercanda terus, padahal aku sedang bingung setengah mati menghadapi maslah ini. “Kami tidak pernah kencan! Biasanya kami bertemu di toshokan, saling sapa, lalu sudah! Itu saja!”
“Yang benar?”
“Iya!” Aku menggerutu pelan sebelum menambahkan, “Sering juga sih, kami berdua berdiskusi atau mengobrol tentang berbagai hal. Tapi tidak pernah sekali pun kami keluar dari toshokan.” Sambarku cepat saat melihat Eimi-neesan hendak membuka mulutnya lagi.
Eimi-neesan kembali tertawa. Namun, saat melihat wajahku yang sudah tidak ‘berbentuk’ lagi, akhirnya ia pun merasa kasihan.
“Tadi kau bilang kalai dia ingin menikah denganmu karena ingin mempelajari Islam?”
Kata Eimi-neesan serius. “Apa itu benar? Apa selama ini ia memang berminat pada Islam?”
Aku terdian mendengar pertanyaan Eimi-neesan. Apa benar ya? Apa benar Kazuya tertarik pada Islam? Selama ini dia memang sering bertanya-tanya tentang Islam kepadaku, terlebih setelah aku menjelaskan bahwa jilbab dan pakaianku ini merupakan kewajiban dalam Islam, bukan sekedar mengikuti mode atau biar dianggap unik. Ia juga sering mengajakku berdiskusi tentang agama, membandingkan Islam dengan Kristen, Shinto atau Konfusianisme yang banyak dianut oleh masyarakat Jepang. Tapi.., itu semua tidak pernah kutanggapi dengan serius. Tidak pernah sekali pun terlintas dalam benakku kalau ia sungguh-sungguh tertarik pada Islam.
Aku mengerutkan kening. Tiba-tiba, ingatanku mundur tiga bulan ke belakang. Saat itu, aku sedang iseng main ke Islamic Center. Kata Mas Bayu memalukan jika sudah tinggal di Tokyo selama hampir setengah tahun, tapi belum pernah sekali pun mengunjungi Islamic Center. Akhirnya, daripada terus-terusan diejek oleh kakakku itu, aku pergi ke sana. Saat itu, aku melihat sosok yang mirip Kazuya di sana. Sayang, sebelum aku sempat memastikan apakah sosok itu Kazuya atau bukan, ia sudah pergi. Waktu itu aku beranggapan kalau sosok itu bukan Kazuya. Mana mungkin Kazuya pergi ke Islamic Center?
Sekarang aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri, jangan-jangan itu memang Kazuya yang kulihat di Islamic Center.. Jangan-jangan sebenarnya selama ini Kazuya memang tertarik pada Islam. Jangan-jangan dia…
“Bagaimana?” tanya Eimi-neesan. “Aapa kau yakin kalau dia memang tertarik pada Islam?”
Aku hanya menatapnya. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa.
Eimi-neesan balik menatapku.
“Ran,” panggilnya lembut. “Kalau aku boleh memberi saran, menurutku, sebaiknya kau terima saja lamaran Kazuya. Kau sudah cukup secara mental. Kau juga cukup mengenal Islam sehingga bisa membantunya menemukan hidayah Allah. Anggap saja ini dakwah, sarana untuk menebar hidayah!”
Aku kembali menarik napas panjang.
“Kau tahu sendiri kan, Ran,” tambah Eimi-neesan, “sejak lahir aku tinggal di negeri ini. Salama bertahun-tahun aku hidup dalam kegelapan, meninggalkan yang benar dan melakukan yang salah. Baru lima tahun yang lalu aku berhasil menemukan bibit hidayah yang itu pun dengan susah payah.” Eimi-neesan mengelus kepalaku pelan. “Sekarang, ada seorang yang di dalam hatinya sedang berkembang bibit hidayah. Kalau kau mau, kau bisa merawat bibit itu hingga bisa tumbuh menjadi sebatang pohon yang kuat, yang tidak hanya menaungi hati pemiliknya, tapi juga hati orang-orang yang ada disekitarnya. Bagaimana?”
Aku masih terdiam. Aku tahu apa yang diucapkan itu benar. Perjuangan kakak iparku menjadi seorang muslim benar-benar berat; sarat darah dan air mata. Untung saat itu ada Mas Bayu di sisinya.
Dan, saat itu, kondisi Kazuya hampir sama seperti Eimi-neesan. Kalau aku mai, aku bisa membantu merawat bibit hidayah yang telah tertanam di hatinya. Tapi, benarkah aku bisa membantunya? Ada begitu banyak hal silih berganti muncul dibenakku, mulai dari bayangan wajah Mas Indra saat membaca emailku tentang lamaran Kazuya, wajah Bapak sampai Ibu saat mendengar berita itu dari Mas Indra, sampai keraguan pada diriku sendiri. Benarkah aku sudah memahami Islam secara kaffah sehingga bisa membantu Kazuya? Atau malah aku akan menjerumuskan karena ketidaktahuanku?
Aku menarik napas panjang. Yah, aku butuh waktu untuk memikirkan jawaban untuk,u, Kazuya. Gomen, ne..
©©©

Rintik hujan turun membasahi bumi, membawa kesejukan di tengah malam yang senyap ini. Setelah sekian lama hilang, malam ini kutemukan kembali melodi para bidadari di tengahnya. Begitu teratur, begitu harmonis, dan begitu indah, cerminan kecil dari kebesaran Sang Pencipta yang tak terhingga. Bermalam-malam kuhabiskan waktu dalam sujud, berharap kemurahan-Nya agar memberika petunjuk bagi hamba-Nya yang lemah dan sederhana, yang bisa diputuskan haya oleh perhitungan manusia belaka. Pernikahan bagiku adalah penyatuan dua potensi yang berbeda sehingga menimbulkan potensi lain yang lebih besar. Hal-hal yang semula tidak mungkin dikerjakan sendiri, kini menjadi mungkin karena dikerjakan bersama. Pernikahan bukanlah belenggu melainkan suatu bentuk pembebasan yang bertanggung jawab.
Rintik hujan masih terus kudengar, semakin lama semakin reda sebelum akhirnya hilang, meninggalkanku dalam keheningan absolut. Semakin lama aku semakin tpekur sampai akhirnya kutemukan denting melodi lain di dalam keheningan ini. Saat winamp di komputerku menyerukan azan subuh, aku kembali bersujud. Dalam.
Besok pagi aku akan menelepon Kazuya untuk memberikan jawaban atas pertanyaannya..

Daftar Istilah
-san                         : digunakan di belakang nama orang untuk menghormatinya.
Ano                         : ucapan yang sering dikeluarkan orang Jepang saat ragu-ragu.
Doshite                    : ada apa
Iie                             : tidak
Oneesan/neesan       : kakak perempuan
Sensei                      : guru; dosen
Toshokan                : perpustakaan
Sumimasen            : permisi; maaf mengganggu
Desu ga                   : tapi
Hontou desu ka   : benar begitu?
Gomen nasai         : maaf
Daijoubu                 : tidak apa-apa
Arigatou gozaimashita : terimakasih
Douzou yoroshiku : senang berkenalan dengan anda
Tokyo Daigaku : Universitas Tokyo
Konnichiwa  : Selamat siang



0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Template by:
Free Blog Templates